Jumat, 12 Januari 2018

Pusat Kota Ukir, Jepara Mengalami Pergeseran Budaya

Pusat Kota Ukir, Jepara Mengalami Pergeseran Budaya

Jepara memang terkenal akan pesona keindahan produk ukiran. Sejak dahulu mayoritas masyarakat Jepara menggunakan ukiran sebagai pekerjaan mulia yang sekaligus menjadi budaya yang mendarah daging, maka tak heran jika kemudian R.A. Kartini memiliki inisiatif untuk membantu rakyat Jepara mencapai kesejahteraan dengan cara memasarkan produk ukiran. Meski bukan seluruhnya berkat bantuan R.A. Kartini, namun kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh beliau telah sangat membantu perekonomian masyarakat Jepara, khususnya yang melakukan pekerjaan sebagai tukang ukir. Selain R.A. Kartini Ratu Shima juga ikut mempopulerkan ukiran Jepara dengan mempekerjakan ahli ukir untuk membangun makam suaminya.

Tokoh-tokoh terkenal asal Jepara yang telah memiliki andil dalam kepopuleran ukiran Jepara memang tak sedikit. Namun, tahukah kamu bahwa di abad ke-21 ini rupanya kota Jepara telah terjajah budayanya. Hilangnya kegiatan mengukir yang dilakukan oleh sebagian remaja di abad ke-20 hilang entah kemana, digantikan oleh banyaknya pabrik milik investor asing yang bercokol di tanah tercinta kita, Jepara. Memang kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah atas kejadian ini, mengingat bahwa pemerintah menginginkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara merata. Pemerataan kesejahteraan ini bisa dicapai dengan tanam modal asing, dan terjadilah kontrak (entah berapa tahun itu), sampai rasa-rasanya tak hanya sumber daya manusia yang habis, melainkan juga keberadaan pabrik itu telah merusak ekosistem alam! Cekcok dengan pemilik lahan pun kerap kali terjadi. Tentulah, sebab para petani itu mau melakukan apa jika sawah dan ladang mereka dibeli oleh investor asing.

Keberadaan pabrik-pabrik itu tentunya menjadi 'pusat rekreasi' oleh para lulusan SMA/SMK sederajat, mengingat tawaran gaji yang diberikan terlalu menggiurkan. Dan tentulah, yang tergoda itu sebagian besar adalah wanita, yang kebutuhannya tak habis-habis macam pepatah pohon pisang "Mati satu, tumbuh seribu", memang sudah kodrat barang kali. Dan pabrik-pabrik yang bercokol itupun memang menjaring remaja putri untuk dijadikan sebagai pekerja disana, dan hanya sebagian kecil dari remaja putra yang berhasil lolos seleksi. Perlu diketahui bahwa UMR Kota Jepara termasuk lumayan, sekitar Rp. 1.600.00,- pada tahun 2017 dan akan naik menjadi Rp. 1.739.360,- pada 2018. Hal itulah yang mendorong meningkatnya permintaan sepeda motor oleh masyarakat Jepara. Tingkat gengsi juga meningkat, sebab jumlah gaji yang didapat lebih dari cukup (berdasarkan perkiraan). Sementara dari segi moral, wanita-wanita yang sudah menikah namun memiliki usia yang mumpuni untuk bekerja di pabrik menjadi tulang punggung keluarga, dan suaminya mengurus anaknya dirumah, sudah seperti sinetron 'Dunia Terbalik' saja rasanya.

Tentu saja selain dampak negatif, terdapat pula dampak positif dari adanya pabrik-pabrik disepanjang jalan kota di Jepara. Satu yang paling utama adalah kesejahteraan sosial yang meningkat, dalam hal ini pemerintah boleh dianggap berhasil, meski dampak positif ini tertimbun oleh dampak negatif. Dampak positif lainnya yang terlihat yakni, semakin luas serta bervariasinya pilihan pekerjaan, meningkatnya pengahilan daerah sebab adanya pabrik-pabrik itu tentunya membayar pajak kepada pemerintah daerah, serta merangsang pengetahuan serta keterampilan masyarakat. Sementara untuk dampak negatif yang paling kentara adalah matinya industri permebelan serta industri ukiran rumah tangga yang beberapa tahun lalu berdiri jaya, hingga dalam waktu singkat dapat melakukan impor ke luar negeri.

Pro kontra atas berdirinya pabrik-pabrik di kota Jepara diharapkan kedepannya dapat terselesaikan dengan damai, tanpa pertumpahan darah, tanpa pemboikotan. Salam damai!